LAPORAN
PRATIKUM FARMASI FISIK I
Materi
: Sifat Koligatif
Dosen
Pengampu : Matias Nataniel K., S. Farm., Apt
Oleh:
Elsyadha
Wahyu Putri Zendrato (19134015A)
Kelompok :
J.27
Tanggal
Praktikum: 9 Oktober 2013
Program Studi S-1 Farmasi
Fakultas Farmasi
Universitas
Setia Budi
2013
I.
Judul Percobaan : Sifat Koligatif
II.
Tujuan Percobaan : - Memahami sifat
koligatif larutan
-
Menentukan kenaikan titik didih suatu
pelarut sebagai salah satu sifat koligatif
III.
Dasar Teori
Kata
koligatif berarti dikumpulkan bersama-sama dan menunjukkan pada sekumpulan
sifat-sifat umum yang dimiliki larutan encer. Sifat Koligatif adalah sifat
larutan yang hanya ditentukan oleh jumlah partikel dalam larutan dan tidak
tergantung jenis partikelnya. Penurunan tekanan uap, penurunan titik beku,
tekanan osmosis dan kenaikan titik didih merupakan sifat-sifat koligatif
larutan. (Dewi Ekowati, 2013)
Titik
didih adalah temperatur di mana tekanan uap cairan menjadi sama dengan tekanan
luar, yaitu 760 mmHg. Titik didih larutan yang mengandung zat terlarut yang
tidak menguap adalah lebih tinggi daripada pelarut murninya dengan melihat
kenyataan bahwa zat terlarut menurunkan tekanan uap pelarut. Seperti terlihat dalam kurva di bawah ini: (Dewi Ekowati, 2013)
(Dewi Ekowati, 2013)
Kurva
tekanan uap larutan terletak di bawah pelarut murni dan temperatur larutan
harus dinaikan pada temperatur di atas temperatur pelarut murni dengan maksud
untuk mencapai titik didih normal. Kenaikan titik didih terlihat pada gambar
sebagai persamaan T-To = ΔTb. Perbandingan kenaikan titik
didih ΔTb terhadap penurunan tekanan uap Δp = po – p,
pada 100°C kira-kira konstan pada temperatur ini dan ditulis sebagai:
(Dewi Ekowati, 2013)
Karena
po konstan kenaikan titik didih dapat dianggap sebanding dengan Δp/po,
yaitu penurunan tekanan uap relatif. Menurut hukum Raoult penurunan tekanan uap
relatif sama dengan fraksi mol zat terlarut sehingga
ΔTb = k. X2 .................
(2)
(Dewi Ekowati, 2013)
Karena
kenaikan titik didih hanya bergantung pada fraksi mol zat terlarut maka ini
adalah sifat koligatif. Dalam kondisi encer X2 kira-kira sama dengan
m/(1000/M1) sehingga persamaan (2) dapat ditulis:
(Dewi Ekowati, 2013)
Di
mana
=
kenaikan titik didih, Kb = tetapan kenaikan titik didih molal
(tetapan ebulioskopi), m = molalitas zat terlarut, WA = massa
pelarut (gram), WB = massa zat terlarut (gram) dan BMB =
berat molekul zat terlarut. (Dewi Ekowati, 2013)
Kalau
dibuat grafik titik didih sebagai fungsi dari berat zat yang dilarutkan akan
didapatkan suatu garis lurus dan gradien sehingga ΔTb / WB
dapat diketahui
(Dewi Ekowati, 2013)
Harga Kb dapat diketahui
jika massa molar dari zat terlarut diketahui. Jadi dari penentuan titik didih
pelarut murni dan kenaikan titik didih larutan yang diketahui konsentrasinya,
dapatlah ditentukan berat molekul dari zat terlarut dengan menggunakan
persamaan:
(Dewi Ekowati, 2013)
Banyaknya
partikel dalam larutan ditentukan oleh konsentrasi larutan dan sifat Larutan
itu sendiri. Jumlah partikel dalam larutan non elektrolit tidak sama dengan
jumlah partikel dalam larutan elektrolit, walaupun konsentrasi keduanya sama.
Hal ini dikarenakan larutan elektrolit terurai menjadi ion-ionnya, sedangkan
larutan non elektrolit tidak terurai menjadi ion-ion. Dengan demikian sifat
koligatif larutan dibedakan atas sifat koligatif larutan non elektrolit dan
sifat koligatif larutan elektrolit. (Ratna, 2009)
Molalitas (kemolalan) adalah
jumlah mol zat terlarut dalam 1 kg (1000
gram) pelarut. Molalitas didefinisikan dengan persamaan berikut
Fraksi mol merupakan satuan
konsentrasi yang semua komponen larutannya dinyatakan berdasarkan mol. Fraksi
mol komponen
, dilambangkan dengan
adalah jumlah mol komponen
dibagi dengan jumlah mol semua komponen dalam larutan Fraksi
mol
adalah
dan seterusnya.
Jumlah fraksi mol dari semua komponen adalah 1. Persamaannya
dapat ditulis dengan:
IV.
Alat
1.
Labu alas bulat berleher dua
2.
Kondensor Liebigh
3.
Termometer
4.
Erlenmeyer (100 ml)
5.
Neraca elektrik
6.
Gelas ukur 100 ml
7.
Batu didih
8.
Corong glass
9.
Klem dan statif
10.
Waterbath
11.
Alumunium foil
12.
Alat pres pelet
V.
Bahan
1.
Kloroform
2.
Naftalena
VI.
Cara Kerja
1.
Alat dirangkai terdiri dari labu alas
bulat berleher dua, kondensor dan termometer.
2.
Dimasukkan kloroform sebanyak kira-kira
50 ml ke dalam Erlenmeyer bertutup alumunium foil kemudian ditimbang dengan
teliti.
3.
Kloroform dituang ke dalam labu alas
bulat dan dimasukkan 2-3 butir batu didih.
4.
Erlenmeyer ditimbang kembali beserta
tutupnya sehingga diketahui berat kloroform.
5.
Pelarut dididihkan dengan hati-hati
hingga tercapai titik didihnya (pelarut akan stabil mendidih setelah ± 10
menit).
6.
Jika titik didih sudah tercapai baca
suhunya pada termometer setiap 2 menit.
7.
Ditimbang 8 buah naftalena dengan berat
masing-masing ± 0,5 gram, buat pelet dengan alat pres lalu ditimbang dengan
seksama berat tiap pelet (± 0,002 gram).
8.
Hubungan labu alas bulat dengan
kondensor dilepaskan secara cepat, dimasukkan satu pelet naftalena ke dalam
labu dan kondensor ditutup kembali, pembacaan suhu diteruskan, suhu dicatat
setelah 2 kali pembacaan nilainya tetap.
9.
Langkah ke 7-8 diulangi sampai kedelapan
pelet terlarutkan.
10.
Dibuat grafik hubungan antara titik
didih dengan berat naftalena yang ditambahkan.
11.
Jika yang dicari adalah berat molekul
zat X, diulangi langkah 1 sampai 10 dengan pelarut murni dan zat yang tidak
diketahui berat molekulnya.
VII.
Hasil Praktikum
Data
Percobaan
Nama Sampel
|
Suhu (°C)
|
Suhu Rata-rata
(°C)
|
Berat
Naftalena (gram)
|
Kloroform
|
1. 62
2. 62
|
62
|
|
Pelet 1
|
1. 63
2. 63
|
63
|
0,87
|
Pelet 2
|
1. 64
2. 64
|
64
|
0,81
|
Pelet 3
|
1. 65
2. 65
|
65
|
0,83
|
Pelet 4
|
1. 65
2. 65
|
65
|
0,82
|
Pelet 5
|
1. 67
2. 67
|
67
|
0,81
|
Pelet 6
|
1. 67
2. 67
|
67
|
0,85
|
Pelet 7
|
1. 67
2. 67
|
67
|
0,86
|
Pelet 8
|
1. 67
2. 67
|
67
|
0,84
|
Perhitungan
Berat Erlenmeyer + Kloroform + tutup = 136,84 gram
Berat Kloroform = 74,44
gram
Molalitas Kloroform
ΔTb = suhu larutan – suhu pelarut
ΔTb1 = 63°C - 62°C
= 1°C
ΔTb2 = 64°C - 62°C
= 2°C
ΔTb3 = 65°C - 62°C
= 3°C
ΔTb4 = 67°C - 62°C
= 5°C
ΔTb5 = 67°C - 62°C
= 5°C
ΔTb6 = 67°C - 62°C
= 5°C
ΔTb7 = 67°C - 62°C
= 5°C
ΔTb8 = 67°C - 62°C
=5°C
Grafik
Hubungan antara Massa Naftalena dengan Suhu
Suhu (°C)
|
Massa naftalena (g)
|
Grafik
Hubungan antara Kb dengan Massa Naftalena
Kb
|
Massa naftalena (g)
|
VIII.
Pembahasan
Percobaan ini dilakukan untuk mengamati
perubahan titik didih larutan. Titik didih merupakan salah satu sifat koligatif.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa semakin bertambahnya massa zat
terlarut yang dicampurkan dalam larutan, maka titik didihnya semakin bertambah
hingga mencapai titik didih tertinggi, kemudian stabil.
Seiring dengan pertambahan massa
naftalena yang dimasukkan dalam kloroform, terjadi pertambahan nilai molalitas.
Sementara hubungan K dengan massa naftalena adalah semakin bertambahnya massa
naftalena, terjadi sedikit kenaikan nilai Kb kemudian terjadi
sedikit penurunan nilai Kb yang jika dirata-ratakan menghasilkan
nilai yang stabil, yaitu 10,55 di mana memiliki selisih yang tidak jauh dengan
masing-masing nilai Kb.
Kendala yang saya bersama kelompok
peroleh adalah saat menunggu kloroform mendidih membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan kelompok lain, sehingga pada waktu kami mengamati
perubahan titik didih dan melakukan perhitungan memerlukan waktu yang relatif
lebih lama daripada kelompok lain. Kemungkinan penyebabnya adalah air panas
yang berada di luar kloroform suhunya sudah menurun atau kemampuan menyala pembakar
spiritus yang kami gunakan kurang besar sehingga membutuhkan waktu yang lama
untuk membuat kloroform mendidih.
IX.
Kesimpulan
Melalui percobaan ini, saya dapat
memahami sifat koligatif larutan dan dapat menentukan kenaikan titik didih
suatu larutan sebagai salah satu sifat koligatif.
Adapun nilai molalitas kloroform dan
nilai Kb yaitu sebagai berikut:
m kloroform1 = 0,09
m kloroform2 = 0,18
m kloroform3 = 0,26
m kloroform4 = 0,35
m kloroform5 = 0,43
m kloroform6 = 0,52
m kloroform7 = 0,61
m kloroform8 = 0,70
Kb 1 = 10,97
Kb 2 = 11,36
Kb 3 = 11,40
Kb 4 = 14,33
Kb 5 = 11,52
Kb 6 = 9,56
Kb 7 = 8,16
Kb 8 = 7,13
X.
Daftar Pustaka
Ekowati, Dewi. (2013). Petunjuk
Praktikum Farmasi Fisik I. Surakarta: Universitas Setia Budi.
Martin A. N, Suarbick, J., dan Cammarata, J. (1990). Farmasi
Fisika: Dasar-dasar Farmasi
Fisika dalam Ilmu Farmasetika, diterjemahkan oleh Yoshita, edisi III, jilid 1, Jakarta: Penerbit UI, 8-309-318,
454-495, 559-687.
Martin A. N, Suarbick, J., dan Cammarata, J. (1990). Farmasi
Fisika: Dasar-dasar Farmasi Fisika dalam Ilmu Farmasetika,
diterjemahkan oleh Yoshita, edisi III,
jilid 2, Jakarta: Penerbit UI, 724-817.
Tony, Bird. (1987). Penuntun Praktikum Kimia Fisik untuk
Univesitas. Jakarta: PT. Gramedia,
55-58.
Rahayu, Imam.
(2009). Praktis Belajar Kimia IPA.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
Voight, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi,
diterjemahkan oleh Noerono Soewandhi dan Widianto, Edisi V Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 95-96.
www.cakra-paeway-nf.blogspot.com/molalitasdanfraksimol
www.chem-is-try.org